Arsip Kategori: Berita LPA

LPA GENERASI : STOP PELIBATAN ANAK DALAM DUNIA POLITIK


Rilis Ketua LPA GENERASI, Ena Nurjanah     Sabtu, 29 juni 2019

JAKARTA (PojokTubaba.com) — Peristiwa kerusuhan yang terjadi  tanggal 22 mei 2019 di depan gedung Bawaslu  dan demonstrasi  massa tanggal 26 juni 2019   menjelang putusan MK membuktikan masih  banyaknya anak-anak yang dilibatkan dalam aktivitas politik . Dengan wajah-wajah yang lugu mereka meneriakan pembelaan kepada salah satu pihak tanpa mengerti lebih lanjut  maksud dari  pembelaan yang mereka lakukan. 

Anak-anak ini umumnya datang dari luar Jakarta, punya semangat pembelaan yang tinggi terhadap tokoh atau kelompok tertentu.  Namun ada juga yang tidak paham maksud kedatangan mereka. Mereka datang hanya berdasarkan ajakan atau  suruhan orang dewasa.

Semua yang dilakukan oleh anak-anak sudah bisa dipastikan merupakan  hasil tindakan orang dewasa . Dunia politik  sama sekali bukan ranah yang anak-anak pahami. Anak-anak tidak pernah punya kepentingan dalam kegiatan yang mereka lakukan. Tetapi orang dewasalah  yang memiliki agenda dan kepentingan  dengan  menggiring anak-anak  dalam kancah politik praktis

Dalam Undang-Undang Perlindungan Anak (UU PA) no.35 tahun 2014 sebenarnya sudah gamblang menyatakan  larangan pelibatan  anak dalam kegiatan politik, sekaligus memuat point tentang  sanksi hukum yang diberikan terhadap para pelanggar pasal tersebut.

Pasal 15 dari UU PA menyatakan bahwa  anak berhak untuk memperoleh perlindungan dari : a. penyalahgunaan dalam kegiatan politik; b. pelibatan dalam sengketa bersenjata; c. pelibatan dalam kerusuhan sosial; d. pelibatan dalam peristiwa yang mengandung unsur kekerasan; dan e. pelibatan dalam peperangan. 

Kemudian sanksi hukum terhadap para pelanggarnya ada di dalam  Pasal 87 yang menyatakan bahwa  Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 76H(yaitu bahwa setiap orang dilarang merekrut atau memperalat Anak untuk kepentingan militer dan/atau lainnya dan membiarkan Anak tanpa perlindungan jiwa),  dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah). 

Dengan melihat kasus yang masih hangat terjadi, pelibatan anak dalam dunia politik nampaknya belum ada kata berhenti. Anak-anak masih terus saja menjadi komoditas politik. Kerentanan pemahamanan  anak  telah dijadikan  sarana bagi mereka yang punya ambisi untuk memasukkan pemahaman  orang dewasa  dalam benak anak-anak  yang polos .

Anak – anak sesungguh berada dalam tahap pemikiran yang sangat kaku, sempit,  dan tidak luwes .  Pandangan moral mereka masih sangat lemah. Anak-anak belum  memiliki kemampuan untuk memahami  akan konsekuensi terhadap apa yang mereka lakukan . 

Anak-anak adalah figure yang masih terus bertumbuh dan berkembang. Cara berpikir mereka juga masih terus berproses untuk menjadi matang. Maka wajar saja seorang anak dengan mudah kagum dengan tokoh yang  mereka lihat punya kekuatan atau popularitas. Kerentanan cara berpikir anak  juga membuat seorang anak  dengan mudah tunduk kepada pihak yang lebih berkuasa, punya otoritas, baik itu orangtua, guru, maupun orang dewasa lainnya yang memiliki relasi kuasa atas dirinya.

Cara berpikir   anak yang belum matang  membuatnya sangat mudah untuk dimanfaatkan dan diarahkan untuk melakukan tindakan-tindakan yang diinginkan oleh orang dewasa.

Dengan demikian, sudah selayaknya  dipahami oleh semua pihak bahwa setiap  pelanggaran hukum  yang dilakukan oleh anak dalam dunia politik maka yang  seharusnya  disasar adalah para orang dewasa. 

Namun, sangat disayangkan hingga saat ini hampir belum pernah ada orang dewasa yang dijadikan tersangka  dan dikenai sanksi atas perbuatan melanggar hukum yang dilakukan oleh anak-anak. Hampir selalu  kasus hukum anak-anak  dalam politik praktis akan berhenti pada penanganan terhadap anak-anaknya dengan melibatkan dinas/kementerian sosial. 

Melihat kondisi tersebut, wajar saja kalau hingga saat ini anak masih menjadi sasaran pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab untuk memenuhi kepentingan politik praktis orang perorang maupun kelompok .

Hal ini harusnya menjadi perhatian serius  pemerintah yang telah menerbitkan Undang-Undang perlindungan Anak Nomor 35 tahun 2014.  Sudah sejauh mana implementasi dari sanksi hukum ini dijalankan? Dan yang paling penting  adalah “Kapan anak-anak  berhenti  menjadi  sasaran empuk orang dewasa yang berpolitik?”. 

Salam 
Ena Nurjanah 
Ketua Lembaga Perlindungan Anak GENERASI 

HARI KELUARGA NASIONAL UNTUK SIAPA ?


Rilis artikel Ketua LPA GENERASI, Ena Nurjanah            Sabtu, 29 Juni 2019

JAKARTA (PojokTubaba.com) —  Tanggal 29 Juni ditetapkan sebagai hari Keluarga Nasional (Harganas). Penetapan ini dikuatkan  dengan Keppres no.39 tahun 2014 tentang Hari Keluarga Nasional.

Dalam Keppres tersebut dinyatakan bahwa penetapan Harganas dengan  pertimbangan  :

  1. bahwa dalam rangka mewujudkan masyarakat adil, makmur, dan sejahtera, perlu meningkatkan peran keluarga sebagai pilar utama dalam pembangunan dan kesejahteraan bangsa;
  2. bahwa dalam upaya terus menerus meningkatkan kesadaran dan peran masyarakat terhadap pentingnya keluarga kecil, bahagia, dan sejahtera.

Saat ini Harganas memasuki  tahun ke dua puluh enam. Namun Harganas belum  dikenali oleh masyarakat secara luas. Sehingga hanya kalangan tertentu saja yang sibuk dengan peringatan Harganas. Peringatan Harganas seolah-olah hanya menjadi agenda  rutin bagi BKKBN.

Makna keluarga  sesungguhnya begitu besar bagi setiap orang, baik anak-anak maupun orang dewasa yang ada didalamnya.  Momen Hari keluarga Nasional seharusnya menjadi  momen yang sangat  penting  bagi setiap orang dan layak untuk  digaungkan secara luas.

Keluarga adalah wadah utama  dalam mencetak generasi penerus bangsa yang berkualitas. Namun, dalam perkembangan zaman makna dan fungsi keluarga terus mengalami ujian. Keharmonisan fungsi keluarga  saat ini juga mulai tergerus oleh kemajuan perkembangan zaman. Institusi keluarga terus  diuji dengan kemajuan peradaban. Keberadaan  keluarga terus didesak  untuk menyesuaikan diri dengan  kemajuan perkembangan teknologi.

Anak merupakan bagian  dari sebuah keluarga . Dan anak adalah anggota keluarga yang paling rentan . Rentan terhadap berbagai paparan yang datang dari luar dirinya, terlebih dari luar institusi keluarga.  Dengan demikian, sebuah keharusan bagi para orangtua untuk  memiliki kesadaran penuh terhadap berbagai  ancaman kemajuan teknologi  maupun perkembangan zaman lainnya terhadap anak.

Banyaknya masalah kenakalan  anak, penyimpangan maupun  perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh anak mulai dari tindakan kriminal hingga perbuatan amoral sesungguh juga sangat dipengaruhi oleh ketahanan keluarga yang dimilikinya.

Seburuk apapun kondisi lingkungan luar yang dihadapi oleh seorang anak, jika ia memiliki dukungan penuh dari keluarga, maka ia akan dapat melaluinya,  baik dalam menghadapi teman maupun lingkungan yang keras.

Peran keluarga dalam menjaga, melindungi dan membimbing anak-anak menjadi penerus bangsa  sudah tidak diragukan lagi, maka selayaknya makna keluarga terus dikuatkan.

Pemerintah seharusnya menggencarkan Harganas disemua level dan instansinya, dan juga mendorong pelibatan sektor swasta untuk  turut menggaungkan peringatan acara ini. Sehingga, Harganas  menjadi hari yang istimewa bagi setiap keluarga di Indonesia. Mendorong setiap keluarga untuk kembali merefleksikan fungsi dan peran keluarga . 

Mereka merayakan hari keluarga di rumah-rumah mereka,  berkumpul dengan seluruh anggota keluarga mereka. Pada akhirnya , Harganas bukan lagi sekedar kegiatan  seremonial belaka, yang penuh gebyar namun minim pemahaman di level keluarga-keluarga Indonesia.

Salam, 
Ena Nurjanah

LPA GENERASI : STOP PELIBATAN ANAK DALAM DUNIA POLITIK


Rilis Ketua LPA GENERASI, Ena Nurjanah     Sabtu, 29 juni 2019

JAKARTA (PojokTubaba.com) — Peristiwa kerusuhan yang terjadi  tanggal 22 mei 2019 di depan gedung Bawaslu  dan demonstrasi  massa tanggal 26 juni 2019   menjelang putusan MK membuktikan masih  banyaknya anak-anak yang dilibatkan dalam aktivitas politik . Dengan wajah-wajah yang lugu mereka meneriakan pembelaan kepada salah satu pihak tanpa mengerti lebih lanjut  maksud dari  pembelaan yang mereka lakukan. 

Anak-anak ini umumnya datang dari luar Jakarta, punya semangat pembelaan yang tinggi terhadap tokoh atau kelompok tertentu.  Namun ada juga yang tidak paham maksud kedatangan mereka. Mereka datang hanya berdasarkan ajakan atau  suruhan orang dewasa.

Semua yang dilakukan oleh anak-anak sudah bisa dipastikan merupakan  hasil tindakan orang dewasa . Dunia politik  sama sekali bukan ranah yang anak-anak pahami. Anak-anak tidak pernah punya kepentingan dalam kegiatan yang mereka lakukan. Tetapi orang dewasalah  yang memiliki agenda dan kepentingan  dengan  menggiring anak-anak  dalam kancah politik praktis

Dalam Undang-Undang Perlindungan Anak (UU PA) no.35 tahun 2014 sebenarnya sudah gamblang menyatakan  larangan pelibatan  anak dalam kegiatan politik, sekaligus memuat point tentang  sanksi hukum yang diberikan terhadap para pelanggar pasal tersebut.

Pasal 15 dari UU PA menyatakan bahwa  anak berhak untuk memperoleh perlindungan dari : a. penyalahgunaan dalam kegiatan politik; b. pelibatan dalam sengketa bersenjata; c. pelibatan dalam kerusuhan sosial; d. pelibatan dalam peristiwa yang mengandung unsur kekerasan; dan e. pelibatan dalam peperangan. 

Kemudian sanksi hukum terhadap para pelanggarnya ada di dalam  Pasal 87 yang menyatakan bahwa  Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 76H(yaitu bahwa setiap orang dilarang merekrut atau memperalat Anak untuk kepentingan militer dan/atau lainnya dan membiarkan Anak tanpa perlindungan jiwa),  dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah). 

Dengan melihat kasus yang masih hangat terjadi, pelibatan anak dalam dunia politik nampaknya belum ada kata berhenti. Anak-anak masih terus saja menjadi komoditas politik. Kerentanan pemahamanan  anak  telah dijadikan  sarana bagi mereka yang punya ambisi untuk memasukkan pemahaman  orang dewasa  dalam benak anak-anak  yang polos .

Anak – anak sesungguh berada dalam tahap pemikiran yang sangat kaku, sempit,  dan tidak luwes .  Pandangan moral mereka masih sangat lemah. Anak-anak belum  memiliki kemampuan untuk memahami  akan konsekuensi terhadap apa yang mereka lakukan . 

Anak-anak adalah figure yang masih terus bertumbuh dan berkembang. Cara berpikir mereka juga masih terus berproses untuk menjadi matang. Maka wajar saja seorang anak dengan mudah kagum dengan tokoh yang  mereka lihat punya kekuatan atau popularitas. Kerentanan cara berpikir anak  juga membuat seorang anak  dengan mudah tunduk kepada pihak yang lebih berkuasa, punya otoritas, baik itu orangtua, guru, maupun orang dewasa lainnya yang memiliki relasi kuasa atas dirinya.

Cara berpikir   anak yang belum matang  membuatnya sangat mudah untuk dimanfaatkan dan diarahkan untuk melakukan tindakan-tindakan yang diinginkan oleh orang dewasa.

Dengan demikian, sudah selayaknya  dipahami oleh semua pihak bahwa setiap  pelanggaran hukum  yang dilakukan oleh anak dalam dunia politik maka yang  seharusnya  disasar adalah para orang dewasa. 

Namun, sangat disayangkan hingga saat ini hampir belum pernah ada orang dewasa yang dijadikan tersangka  dan dikenai sanksi atas perbuatan melanggar hukum yang dilakukan oleh anak-anak. Hampir selalu  kasus hukum anak-anak  dalam politik praktis akan berhenti pada penanganan terhadap anak-anaknya dengan melibatkan dinas/kementerian sosial. 

Melihat kondisi tersebut, wajar saja kalau hingga saat ini anak masih menjadi sasaran pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab untuk memenuhi kepentingan politik praktis orang perorang maupun kelompok .

Hal ini harusnya menjadi perhatian serius  pemerintah yang telah menerbitkan Undang-Undang perlindungan Anak Nomor 35 tahun 2014.  Sudah sejauh mana implementasi dari sanksi hukum ini dijalankan? Dan yang paling penting  adalah “Kapan anak-anak  berhenti  menjadi  sasaran empuk orang dewasa yang berpolitik?”. 

Salam 
Ena Nurjanah 
Ketua Lembaga Perlindungan Anak GENERASI 

Aksi Bocah Bersepatu Roda Warnai Taman Bermain |Komunitas Pojok Tulangbawang Barat


TULANG BAWANG TENGAH (Kedai Pena) — Ada hal baru yang menarik perhatian pengunjung di area bermain anak-anak, tepatnya di Taman Rekreasi keluarga yang ada di pojok Lapangan Merdeka Kelurahan Panaragan Jaya Kecamatan Tulang Bawang Tengah Kabupaten Tulangbawang Barat (Tubaba).

4

3

2

Diantara pengunjung yang banyak didominasi anak-anak tersebut tampak mengelompok beberapa anak menyaksikan sepasang bocah asyik beratraksi bermain sepatu roda diarea jalan ditepi taman. Mereka, M. Nafidz Aulia Avicenna Madani,  pelajar kelas III SD Islam Al-Furqon dan  M. Naufal Aulia Farras Ghifara, (4th) salah seorang pelajar dari Yayasan Pondok Pesantren Darul Ulum, Panaragan Jaya tampak semakin asyik kejar-kejaran.

5

6

Dua anak kecil tersebut bersama beberapa rekannya tampak masih didampingi orang tuanya begitu gembira memainkan olahraga yang terbilang baru di daerah ini.

“Anak saya baru satu bulan saya belikan sepatu, selama ini latihannya cuma dirumah saja. Maklum masih harus diawasi,” kata Aris Nugroho, ayah Avicenna kepada Gerbang Sumatera News, Minggu (21/2/2016).

7

8

9

Aris menjelaskan sebagai orang tua ia mendukung kegiatan anaknya tersebut karena kegiatan ini mengandung unsur permainan (rekreasi ; red) sekaligus olahraga. Ia ingin mengajak dan memberi kegiatan positif buat anak-anaknya ditengah maraknya permainan PS (Play Station) dan game online.

“Baru tadi saya bawa ke taman ini karena ada temannya yang mengajak bersepatu rod disini. Ya biar gak bosen dan sekaligus berharap bakal ada peminat baru, biar sepatu roda ini bisa berkembang di Tubaba, sayang tempatnya belum ada disini masih banyak kendaraan besar lalu lalang, buat kami khawatir” papar aktivis ormas Muhammadiyah ini.

10

sepatu roda

Ia berharap Pemerintah Daerah lebih banyak mendirikan area-area bermain buat anak yang murah, aman dan nyaman. Sesuai konsep Kabupaten Layak Anak seperti yang sudah banyak dikembangkan di Daerah Istimewa Jogyakarta, Surakarta maupun kota-kota besar di Indonesia.

“Saya denger kita sudah memiliki Gugus Tugas Kabupaten Layak Anak Tulangbawang Barat 2015-2020, kog belum didengar ada sosialisasinya ya, lalu kapan lounchingnya program Tulangbawang Barat Kabupaten Layak Anak disini?” tanya Aris (*ES).

 

Tokoh Agama Hadir Ketika Negara Absen dalam Penghapusan PRTA | Kabar Jejaring Perlindungan Perempuan dan Anak


BANDAR LAMPUNG (Komunitas Pojok Tulangbawang Barat) — Pelibatan seluruh komponen masyarakat untuk mengkampanyekan Penghapusan Pekerja Rumah Tangga Anak (PRTA) terus dilakukan oleh para pegiat perlindungan anak di Provinsi Lampung. Belum lama ini, Lembaga Advokasi Anak (Lada), Lampung Membangun (LAMBANG) didukung Jaringan LSM Penanggulangan Pekerja Anak (JARAK) Jakarta dan International Labour Organisation (ILO) menyelenggarakan lokakarya bertajuk “Peran Tokoh Agama dalam Mempromosikan Kerja Layak bagi Pekerja Rumah Tangga (PRT) dan Penghapusan Pekerja Rumah Tangga Anak (PRTA)”.

~~Diskusi pd Lokakarya Peran Tokoh Agama dlm Mempromosikan Kerja Layak bagi PRT dan Penanggulangan PRTA. Hotel Amalia-Bandar Lampung, 22 Feb 2016)..

~~Diskusi pd Lokakarya Peran Tokoh Agama dlm Mempromosikan Kerja Layak bagi PRT dan Penanggulangan PRTA. Hotel Amalia-Bandar Lampung, 22 Feb 2016).

Digital Camera
Digital Camera

~~Lokakarya Peran Tokoh Agama dlm Mempromosikan Kerja Layak bagi PRT dan Penanggulangan PRTA. Hotel Amalia-Bandar Lampung, 22 Feb 2016)

Digital Camera
Digital Camera

~~Peserta Lokakarya Peran Tokoh Agama dlm Mempromosikan Kerja Layak bagi PRT dan Penanggulangan PRTA. Hotel Amalia-Bandar Lampung, 22 Feb 2016)

Digital Camera
Digital Camera

Digital Camera
Digital Camera

Digital Camera
Digital Camera

Digital Camera
Digital Camera

Digital Camera
Digital Camera

Pertemuan perwakilan tokoh-tokoh agama se-Lampung yang juga dihadiri Ketua Lembaga Perlindungan Anak (LPA Tubaba), Elia Sunarto diselenggarakan di Hotel Amalia-Bandar Lampung, Selasa (23/2/2016). Lokakarya menghadirkan pembicara ; M. Nour dari ILO Promote, Achmad Marzuki, Direktur JARAK, Suster VincentIA HK dari Mitra ImaDei-Jkt, Dr. Dedy Hermawan, Sos., M. Si (FISIP Unila) dengan moderator Dede Suhendi dari Save Children Lampung.

Menurut Direktur Lampung Membangun (LAMBANG), Aye Sudarto yang disampaikan kepada kontributor Gerbang Sumatera News, kegiatan dimaksud bertujuan (1) Mensosialisasikan kerja layak bagi PRT dan Penanggulangan PRTA bagi tokoh-tokoh agama; (2). Merumuskan langkah-langkah praktis yang dapat dilakukan oleh tokoh-tokoh agama dalam turut mempromosikan kerja layak untuk pekerja rumah tangga dan penanggulangan pekerja rumah tangga anak; serta (3). Merumuskan bagaimana memantau implementasi langkah-langkah praktis tersebut.

Pada kesempatan tersebut Direktur JARAK Marzuki menyebutkan, nilai-nilai kesetaraan, keadilan, kesamaan derajat dan etika pastinya ada disetiap agama. Maka dari itu melalui para tokoh agama diharapkan mampu untuk mempromosikan dan bahkan mengurangi PRTA. Marzuki juga mengajak semua peserta untuk memiliki kepekaan sosial guna mensukseskan kampanye yang digalang jejaring perlindungan anak di Lampung.

Dedi Hermawan menyebut, keterlibatan peran tokoh agama ini semakin menguatkan pandangan lemahnya kapasaitas negara/pemerintah dan merepresentasikan pentingnya kedudukan agama ditengah masyarakat yang membantu manusia selamat dunia dan akherat. Suster Vincent berkata promosi terkait isu-isu PRTA paling mudah yang bisa dilakukan adalah dimulai dari keluarga kita masing-masing. Berdasarkan pengalaman Vincent melakukan pendampingan selama 10 tahun di Bekasi dan Tanggerang hal sepele tapi susah untuk dilakukan adalah merubah perilaku kita mengganti kata pembantu dengan istilah pekerja.

Pekerjaan PRT atau sektor domestik merupakan lapangan pekerjaan yang paling banyak menyerap tenaga kerja. Mayoritas ditempati perempuan dari keluarga miskin, pendidikan SD/SMP dan bekerja tanpa kontrak, banyak terjadi diwilayah perkotaan. Analisis data Sakernas dan Susenas tahun 2012 yang dilakukan oleh ILO Jakarta menunjukkan bahwa terdapat sekitar 2,6 juta jiwa yang bekerja sebagai pekerja rumah tangga. Terdapat sekitar 110.000 anak usia 15 hingga 17 tahun yang bekerja sebagai PRT.

Menurut studi yang dilakukan ILO 2002/2003, PRTA secara nasional diperkirakan sekitar 700.000 anak, sedangkan analisis ILO atas data dari Survei Pekerja Anak yang dilaksanakan oleh BPS pada tahun 2009 menunjukkan bahwa jumlah PRTA mencapai 237.000 anak yang usia 10 hingga 14 tahun.

Muh. Nour dari ILO Promote menjelaskan, kerja layak adalah pekerjaan yang dilakukan atas kemauan/pilihan sendiri, memberi penghasilan cukup untuk biayai hidup secara layak dan berharkat. PRT adalah orang yang bekerja pada orang perserorangan dalam rumah tangga untuk melaksanakan pekerjaan kerumahtanggaan dengan menerima upah. Sedang PRTA adalah orang yang berusia dibawah 18 tahun yang melakukan pekerjaan rumah tangga bagi orang lain dengan tujuan untuk mendapatkan gaji. (ES/Aye).

 

Santri Tewas Korban Penganiayaan 12 Teman Sesama Santri Di Jombang Ternyata Putra Warga Tubaba | Kabar Perlindungan Anak


Kamis, 10 Maret 2016

ilustrasi pengeroyokanTUMIJAJAR, (Komunitas Pojok Tulangbawang Barat) — Suasana berkabung masih menyelimuti keluarga besar H. Zainudin dan Yayasan Islam Tarbiyah Assuniyah Kecamatan Tumijajar Kabupaten Tulangbawang Barat (Tubaba) Provinsi Lampung, Abdullah Muzaka Yahya (15th) santri yang dikabarkan tewas dianiaya 12 teman sesama santri di Pondok Pesantren Darul Ulum Kecamatan Peterongan Kabupaten Jombang, Jawa Timur beberapa waktu lalu itu ternyata putra seorang warga Tubaba, cucu seorang pengasuh Pondok Pesantren yang juga adalah penceramah terkenal.

Jenazah Abdulloh Muzaka Yahya, Senin dinihari (29/2/2016) sudah dipulangkan ke rumah duka kerabat orang tuanya di Desa Paseban Kecamatan Kencong Kabupaten Jember. Keduabelas orang pelaku yang masih di bawah umur tersebut sudah diamankan petugas karena terbukti telah melakukan penganiayaan hingga korban tewas. Saat penangkapan, sebagian besar para pelaku masih mengenakan seragam sekolah dan sebagian lainnya memakai sarung.

Beberapa media nasional pun menulis, Kasatreskrim Polres Jombang AKP Wahyu Hidayat memberi keterangan, peristiwa penganiayaan itu terjadi pada Sabtu malam lalu 27 Februari. Saat itu para tersangka menghajar korban beramai-ramai di asrama pondoknya hingga mengalami luka di beberapa bagian tubuhnya.

Dalam kondisi pingsan korban kemudian dilarikan ke Rumah Sakit Airlangga Jombang. Namun nahas saat dalam perawatan tim medis korban akhirnya meninggal dunia. Setelah membawa jenazah anaknya pulang ke Jember, orangtua korban yang geram kemudian melapor ke kantor polisi di Jember.

Kerabat orangtuanya di Lampung pun berkoordinasi dengan Lembaga Perlindungan Anak Kabupaten Tulangbawang Barat (LPA Tubaba) untuk mendapatkan dukungan dari para pegiat perlindungan anak agar proses hukumnya mendapat pengawalan. Ketua LPA Tubaba, Elia Sunarto membenarkan jika ada yang berkoordinasi dengan lembaganya, “Kami langsung kontak koordinasi dengan teman-teman pegiat perlindungan anak baik di pusat maupun di Jombang.

Setelah jenazah korban divisum di Jember, Senin petang petugas dari Polres Jombang yang mendapat informasi dari Jember langsung menangkap para pelaku di Pondok Pesantren tempatnya tinggal. Kepada petugas para tersangka mengaku mengeroyok korban karena dendam dan kesal beberapa waktu lalu salah satu dari mereka dipalak oleh korban. Akibat perbuatannya tersebut para pelaku terancam akan dijerat dengan Undang-undang Perlindungan Anak dengan ancaman hukuman maksimal 15 tahun penjara.

Rohmatul Akbar salah satu pimpinan Pondok Pesantren Darul Ulum mengaku kecolongan dan tidak mengetahui saat peristiwa itu terjadi. Hingga Selasa siang (1/3/2016) suasana duka masih menyelimuti Ponpes Darul Ulum di Kecamatan Peterongan, Kabupaten Jombang, Jawa Timur.

Menurutnya, saat kejadian seluruh santri dan pengasuh sedang sibuk mengikuti kegiatan pengajian. Tanpa diduga para pelaku membawa korban yang masih duduk di bangku SMP ke dalam sebuah kamar dan mematikan lampunya.

Di dalam kamar tersebut korban dihajar beramai-ramai hingga pukul 23.00 WIB dilarikan ke rumah sakit. Nahas keesokan harinya korban meninggal dunia dan dipulangkan ke daerah asalnya di Kecamatan Kencong, Kabupaten Jember.

Pimpinan Ponpes Darul Ulum meminta maaf kepada keluarga korban dan seluruh masyarakat terkait peristiwa tersebut. Di Kabupaten Jombang, Ponpes Darul Ulum merupakan salah satu pondok pesantren terbesar yang memiliki santri hingga 10.400 orang dengan berbagai lembaga pendidikan di bawahnya.

Puluhan ribu santri tersebut selama ini tinggal di 30 asrama dengan diawasi oleh 100 orang petugas keamanan dan ketertiban (kamtib) dan 90 orang satpam. Namun saat peristiwa pengeroyokan terjadi seluruh petugas keamanan juga tidak mengetahuinya karena terjadi di dalam kamar asrama.

Sebanyak 12 orang santri yang menjadi pelaku pengeroyokan kini sudah diberi hukuman dengan dikeluarkan dari pondok dan diserahkan kepada polisi. Sedangkan seorang santri lainnya sampai kini masih buron. Santri yang kabur ini bukan santri Pondok Pesantren Darul Ulum tetapi dari pondok pesantren lain yang sedang berkunjung dan ikut menghajar korban.

Zainudin menuntut keadilan, orangtua korban ketika dihubungi Gerbang Sumatera News, Kamis (10/03/2016) sedang berada di Lumajang dalam perjalanan ke Lampung. Diujung ponselnya Beliau menerangkan keterangan dari pengadilan negeri (PN) setempat, para pelaku rencananya akan dihadapkan di meja hijau pada 15, 16 dan 17 Maret mendatang.

“Prediksi sidang pembacaan keputusan hakim (vonis ; red) diperkirakan tanggal 25 Maret. Maka saya pulang dahulu ke Lampung, kasihan anak-anak saya tinggalkan. Saya akan kembali ke Jombang untuk menghadiri putusan Majelis Hakim,” pungkas Zainudin mengingat tugas tanggungjawabnya sebagai guru. (ES).

GURU NGAJI CABUL, PELAKU SEBELUMNYA DIKENAL ORANG BAIK


Tim LPA Tubaba bersama Kanit PPA Polres Tuba beserta anggota bersinergi dalam perkara tindak asusila guru ngaji cabul di Gunung Terang, 24 Juni 2015,.

SahabatAnak.Com | GUNUNG TERANG – Kondisi Bad (50 th) oknum guru ngaji yang dilaporkan telah melakukan tindak asusila kepada santriwatinya dikabarkan ngdrop, kepada keluarganya ia mengeluh tak tahan tinggal disel. Alasan psikologis inilah yang menyebabkan Ketua LPA Tubaba gagal bertemu Bad di Mapolres Tulang Bawang, Selasa (23 Juni 2015).

“Penyidik kami belum bisa mengorek banyak keterangan dari tersangka, kondisinya masih labil karena takut berpengaruh terhadap psikologisnya bagaimana kalau LPA lain kali aja menemuinya,” pinta Kanit PPA Polres Tuba, Bripka Sugiarto kepada Ketua LPA Tubaba, Elia Sunarto yang datang khusus untuk ketemu tersangka.

Sebelumnya Bad yang diketahui sebagai tokoh agama sekaligus guru ngaji di Mushalla Al-Barokah salah satu tiyuh (kampung) di Kecamatan Gunung Terang Kabupaten Tulang Bawang Barat (Tubaba) terpaksa diamankan di Mapolres Tuba karena takut amuk massa.

Berdasarkan keterangan saksi korban, tersangka telah mencabuli setidaknya 5 (lima) santriwatinya, mereka adalah SN (12th), NER (7th), AMP (13th), LH (14th) dan BDM (12th). Rata-rata korban masih berpendidikan sekolah dasar dan sebagian ada yang sudah duduk dibangku SMP.

Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Kabupaten Tulang Bawang Barat yang datang untuk mendampingi korban sepakat dengan kepalo tiyuh (kepala kampung) setempat untuk mengawal terus kasus ini hingga pelaku dapat dijatuhi hukuman berat sesuai perbuatannya.

“Keluarga para korban menolak berdamai,” terang Rendi Ardian Hendrik Widigdo salah seorang pengurus LPA Tubaba. Ia datang ke TKP bersama Santoso mendampingi Ketua LPA Tubaba, Elia Sunarto, Rabu (26 Juni 2015).

Thosirul Anwar (43th) salah seorang guru ngaji di Mushalla Al-Barokah tempat Bad juga mengajar ngaji mengkhawatirkan para santrinya. Kalau dilihat kurun waktu perbuatan bejat tersangka patut diduga korban lain pasti ada tak hanya 5 anak yang sudah melaporkan diri.

“Jumlah santri TPA kami ada lebih dari 50-an anak,” terang Thosirul Anwar kepada LPA saat tim LPA Tubaba mendatangi tempat ngaji anak-anak.

Diakuinya peristiwa ini memang dianggap luar biasa, warga tidak percaya jika Bad yang sudah disebut ‘abah’ dianggap tokoh agama dan sesepuh kampung ternyata melakukan tindak asusila. Selama ini ia dikenal rajin dan sayang kepada anak-anak.

“Tadinya kami bangga anak-anak disini rajin ngaji dan salat Isya’ berjamaah bahkan anak-anak juga suka salat Subuh berjamaah di mushalla ini, tidak tahunya ia mengatur semua itu untuk menjerat korbannya,” tutur Thosirul lirih.

Kepada LPA para korban sering dicabuli digudang miliknya yang ada dibelakang rumah. Bad sendiri selain dikenal sebagai guru ngaji dan tokoh agama, dia juga sukses berdagang. Bad memiliki ruko di jalan poros Gunung Terang dekat pasar kampung sementara mushalla tempat ia mengajar ngaji ada dibelakang rumahnya tepatnya di jalan dua berjarak kurang lebih 100 m dari rumahnya.

Berdasarkan pengakuan para korban Bad tak hanya meraba-raba tubuh korban tetapi sebagian ada yang sudah mengalami rudapaksa, salah satu korban berusia 7 th pelajar kelas 2 SD. Diceritakan korban disuruhnya duduk dipangkuannya setelah sebelumnya CD korban dilorot dan tersangka menyingkap sarungnya, pelaku tidak mengenakan celana. Korban sempat menangis kesakitan tetapi pelaku mengancam.

Kejadian terungkap setelah korban menderita demam dan berjalan tertatih, orang tuanya yang curiga berusaha mengorek keterangan tetapi korban bungkam. Tabir terkuak justru dari obrolan sesama bocah yang terdengar oleh orang dewasa. Bermula dari celoteh anak-anak inilah kebobrokan sang guru ngaji tersebut terbongkar. (ES)

OKNUM GURU NGAJI CABULI SANTRIWATI


SahabatAnak.Com | GUNUNG TERANG – Warga Kecamatan Gunung Terang Kabupaten Tulang Bawang Barat (Tubaba) heboh, Bad (50th) salah seorang tokoh terkemuka setempat yang juga berprofesi sebagai guru ngaji dilaporkan oleh orang tua santrinya dengan tuduhan telah melakukan tindak asusila terhadap peserta didiknya.

Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Kabupaten Tulang Bawang Barat yang mendapat laporan dari kerabat salah satu korban pun segera turun ke tempat kejadian setelah berkoordinasi sebelumnya dengan Kepala Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Polres Tulang Bawang. Ketua LPA Tubaba, Elia Sunarto didampingi Rendi Ardian Hendrik Widigdo dan Santoso, Rabu (26 Juni 2015) turun langsung menyambangi keluarga korban.

orang tua para korban tindak asusila guru ngaji cabul curhat ke LPA Tubaba, Gunung Terang, 24 Juni 2015.

Bersama Santoso, didepan rumah guru ngaji cabul, Gunung Terang, Juni 2015

Kapolres Tulang Bawang sebagaimana disampaikan oleh Kanit PPA Polres Tuba, Bripka Sugiarto membenarkan adanya peristiwa tersebut, untuk mengamankan tersangka dari amuk warga, Bad kini mendekam di sel Mapolres Tuba.

“Ini kejadian luar biasa, seorang tokoh agama yang sudah dituakan dengan panggilan abah berbuat tak senonoh terhadap anak-anak dibawah umur yang notabenenya santrinya sendiri. Modus yang dilakukan dengan mengancam ilmu yang diturunkannya tidak akan berkah kalau membuat kiainya kecewa,” tutur Elia Sunarto menirukan keterangan korban.

Hasil investigasi LPA langsung dilapangan ada 5 (lima) korban yang dengan didampingi kedua orang tuanya berani melaporkan. Mereka adalah, SN (12th), NER (7th), AMP (13th), LH (14th) dan BDM (12th). Rata-rata korban masih berpendidikan sekolah dasar dan sebagian ada yang sudah duduk dibangku SMP.

“Selama ini kami tak percaya Bad bisa melakukan tindakan tak terpuji itu, kami semua memuliakan dia sebagai kiai dan panutan kami,” ungkap kesal salah seorang ibu korban.

Berdasarkan keterangan para korban patut diduga korban tidak hanya 5 orang sebagaimana tersebut diatas, bisa jadi akan bertambah. BDM (12) salah satu korban mengatakan ia mengalami pelecehan oleh Bad sudah sejak 4 tahun lalu.

“Kejadiannya saat itu ia menggerayangi putri saya dengan alasan memandikan. Saya tersentak mendengar keterangan anak saya waktu itu, tapi saya tidak mampu berbuat apa-apa karena ketika hal itu saya sampaikan kepada orang lain mereka tidak ada yang percaya bahkan menuduh saya menyebar fitnah, alhamdulillah setelah menunggu 4 tahun akhirnya terbongkar juga,” ungkap salah seorang ibu korban.

“Saya ingin pelaku mendapat hukuman berat atas perbuatannya merusak masa depan putri kami,” pinta ibu-ibu para korban saat bertemu dengan tim LPA Tubaba yang difasilitasi Kepalo Tiyuh setempat. Dalam kesempatan itu juga mereka minta LPA agar terus mengawal kasus ini termasuk mendampingi mereka dalam menghadapi tekanan psikologi yang mungkin timbul dari lingkungan. Hal ini yang melatarbelakangi kesepakatan Ketua LPA Tubaba dengan Kepalo Tiyuh, usai hari raya nanti LPA Tubaba akan selenggarakan sosialisasi Undang-Undang Perlindungan Anak kepada masyarakat setempat. (ES)

LPA Tubaba Gandeng Ormas Muhammadiyah, Tangani Masalah Anak


Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Tubaba gandeng Ormas Muhammadiyah tangani masalah anak-anak. (ft) Ketua LPA TBB bersm Ka PW Aisyiah Muh Lampung, Ka PD Aisyiah Muhammadiyah TBB dan Ka. PD Muhammadiyah TBB beserta anggota, - Copy
SahabatAnak.Com | Panaragan – Dalam menangani beberapa kasus pelanggaran hak anak yang terjadi di Kabupaten Tulang Bawang Barat (Tubaba), LPA mengaku tidak bisa bertindak sendiri apalagi sejumlah Satker terkait memang belum bertindak untuk itu. Demi kepentingan anak, LPA berniat bekerjasama dengan pihak-pihak lain yang memiliki pandangan sama, salah satunya Ormas Muhammadiyah, demikian diungkapkan Ketua LPA Tubaba, Elia Sunarto.

Hal itu disampaikan pihak LPA terkait penanganan kasus yang harus mendapat penanganan berkelanjutan, misalnya harus dirujuk ke panti asuhan atau melanjutkan pendidikan. Ia menyayangkan ada beberapa dinas yang mestinya terlibat langsung dalam hal ini tetapi ketika dihubungi belum bisa memberikan solusi.

“Ada beberapa kasus yang berujung pada terputusnya pendidikan si anak, alhamdulillah ada diantaranya yang kita dampingi Inshaa’Allah tahun ajaran depan sudah bisa kembali sekolah,” tutur Elia Sunarto usai bertemu dengan pengurus PW Aisyiah Muhammadiyah Provinsi Lampung, PD Aisyiah Muhammadiyah Kabupaten Tulang Bawang Barat dan PD Muhammadiyah Kabupaten Tulang Bawang Barat di Tirta Makmur Kecamatan Tulang Bawang Tengah, Selasa (17 Juni 2015) lalu.

Hal itu dibenarkan oleh Ketua PD Muhammadiyah Kabupaten Tulang Bawang Barat, H. Slumun. Ia menyatakan kedepan kerjasama ini akan lebih ditingkatkan lagi.

“Ini tugas mulia, terkait masalah anak adalah bicara masa depan bangsa ini. Butuh orang-orang yang memiliki jiwa, kalau kita-kita tidak peduli lalu siapa yang akan memperhatikan mereka?” kata orang nomor satu di Muhammadiyah Tulang Bawang Barat ini disela-sela kegiatannya mendampingi kunjungan Ketua PW Aisyiah Muhammadiyah Provinsi Lampung di Tubaba.

Lebih jauh Elia Sunarto menjelaskan kedatangan pengurus PW Aisyiah Muhammadiyah Lampung ini untuk menjemput beberapa anak yang akan melanjutkan pendidikan diluar Kabupaten tulang Bawang Barat. Mereka ada yang mengalami penelantaran orangtuanya dan ada karena akibat stigma negatif lingkungannya.

“Mereka ditampung di lembaga pendidikan yang dikelola Muhammadiyah, diantaranya ada yang di Kota Kediri-Jawa Timur dan ada yang hanya di Bandar Lampung,” terang Elia Sunarto. (ES)

Kompolnas: Polisi belum siap tangani kasus pidana pada anak


 kompolnas-polisi-belum-siap-tangani-kasus-pidana-pada-anak

repost  : Elia Sunarto  Reporter : Dieqy Hasbi Widhana | Rabu, 10 Juni 2015 14:48

Merdeka.com – Dewasa ini, banyak sekali anak-anak yang menjadi korban kekerasan baik dilakukan orang lain maupun keluarga terdekat. Sayangnya, perhatian kepolisian terhadap kasus-kasus yang menimpa anak sangat minim.

Komisioner Kompolnas, Hamidah Abdulrahman, mempertanyakan kesiapan pemerintah menerapkan UU No 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA).

“Polisi belum siap melaksanakan ini. Pengungkapan kasus kekerasan pada anak tidak berhenti pada penegakan hukum. Tapi harus mencari tahu apa faktor-faktor penyebabnya,” kata Hamidah dalam sebuah diskusi di Hotel Grand Kemang, Jakarta, Rabu (10/6).

Sejauh ini, menurut Hamidah, jumlah polisi yang khusus menangani kasus anak masih minim. Padahal, melihat banyak kasus kejahatan yang menimpa anak sudah seharusnya membuat konsep kebijakan jangka panjang sebab UU SPPA membutuhkan komitmen kerjasama kepolisian dengan rumah sakit, psikolog, lembaga pendidikan, dan sebagainya.

“Kita butuh 600 polisi khusus anak. Berapa polisi yang dilatih untuk melaksanakan UU SPPA,” ungkapnya.

Selain penanganan di kepolisian, Hamidah juga mengkritik kurangnya fasilitas negara untuk menjamin keamanan anak-anak yang harus di penjara karena kasus hukum yang dia lakukan. Dalam temuannya, banyak tahanan anak disamakan dengan orang dewasa. Padahal kondisi itu rentan karena bisa memicu kekerasan terhadap mereka.

“Kita tidak punya ruang tahanan anak. Kalau tidak ada dia dititipkan di dinas sosial yang punya rehabilitasi anak. Orang sering dianggap orang dewasa, belum apa-apa sudah ada kekerasan verbal dari kepolisian,” ungkapnya.

Dia juga menambahkan bahwa dalam melakukan penegakan hukum terhadap pelaku kekerasan seksual yang dilakukan oleh anak, polisi tidak bisa hanya menjadi penegakan hukum semata. Sebab penanganan secara kasar tersebut akan berdampak pada akan berlipat gandanya jumlah pelaku tindak kekerasan pada anak.

“Tindakan yang diberikan pada anak sifatnya bukan menghukum. Kalau menghukum pelaku makin banyak,” pungkasnya.